Masyarakat desa Cikareo
Utara sebagian besar merupakan etnis Sunda dan beragama Islam. Warga desa
Cikareo Utara, sebagaimana masyarakat Sunda pada umumnya, sangat menjunjung tinggi keramahtamahan dan kesopanan. Mereka
sangat senang diajak bercakap-cakap dan berbasa-basi. Mereka pun selalu saling
menyapa jika bertemu dengan tetangga atau warga yang lain. Mereka menerima
dengan sangat ramah pendatang.
Tidak seperti masyarakat
perkotaan yang sangat individualis, masyarakat pedesaan di Cikareo Utara
mengembangkan sikap gotong-royong, kebersamaan, toleransi, simpati, empati, dan
sosialisme yang tinggi. Ini terbukti ketika ada salah seorang warga yang sakit
hingga harus dirawat ke rumah sakit di luar kota, misalnya di Sumedang, para
tetangga dengan sukarela berbondong-bondong menjenguknya ke Sumedang. Hal ini
disebabkan bahwa masyarakat desa Cikareo Utara saling mengenal satu sama lain
(terutama antar sesama masyarakat di dusun yang sama) sehingga tidak
mengherankan jika sudah terjalin rasa simpati dan kebersamaan yang cukup tinggi
walaupun kebersamaan antar dusun masih harus dirajut dengan lebih kuat.
Sebagaimana kehidupan masyarakat
Jawa Barat yang lainnya, penduduk desa Cikareo Utara adalah etnis (suku bangsa)
Sunda yang berbudaya Sunda. Adapun etnis-etnis lainnya seperti Jawa atau Minang
sangat jarang bahkan tidak ada di desa ini karena mayoritas etnis-etnis lain
seperti itu tinggal di daerah perkotaan seperti kota Wado.
Bahasa sebagai salah
satu unsur budaya juga merupakan hal yang sangat penting. Dalam hal ini, di
Cikareo Utara, bahasa Sunda termasuk bahasa utama (bahasa ibu) yang selalu
digunakan untuk berkomunikasi sehari-hari. Penggunaan bahasa Sunda beserta undak-usuk basa-nya sangat kental dan
masih terlestarikan dengan sangat baik. Bahasa Sunda sering digunakan dalam
acara-acara apapun di desa, misalnya pengajian yang ceramahnya menggunakan
bahasa Sunda atau bahkan dalam acara-acara resmi pemerintahan di desa sekalipun
yang acapkali menggunakan bahasa Sunda (terutama bahasa Indonesia bercampur
dengan bahasa Sunda). Sedangkan bahasa Indonesia merupakan bahasa kedua yang
biasanya digunakan sebagai bahasa pengantar pendidikan di sekolah-sekolah.
Budaya Sunda di desa
Cikareo Utara masih terpelihara walaupun semakin lama semakin mengalami
penurunan yang mengkhawatirkan sehingga diperlukan adanya pelestarian akan
kebudayaan tradisional Sunda di desa ini. Walapun demikian, masih adanya
tradisi, kepercayaan, situs-situs makam, dan beberapa kesenian tradisional yang
mewarnai kehidupan masyarakat merupakan bukti bahwa desa Cikareo Utara masih
menjunjung nilai-nilai kebudayaan lokal.
Salah satu tradisi yang
masih kadang-kadang dilakukan oleh masyarakat Cikareo Utara adalah Ruwatan
Kampung. Ruwatan Kampung adalah pesta panen, suatu acara tahunan bagi para
petani di desa Cikareo Utara yang merupakan suatu bentuk acara syukuran atas
hasil panen yang telah dicapai. Dalam acara ini, biasanya kekayaan desa diruwat
dan para warga berkumpul di suatu tempat untuk makan-makan bersama dan berdoa,
memohon agar dihindarkan dari bala bencana serta agar hasil panen terus
melimpah. Ruwatan Kampung yang terakhir diadakan di dusun Nagrak.
Selain itu, ada pula
tradisi ruwatan yang disebut Rebo Wakasan.
Rebo Wakasan ini biasanya diadakan di
bulan Sapar (dalam penanggalan Jawa). Di Rebo
Wakasan ini, orang-orang yang memiliki benda-benda keramat seperti keris
atau batu ajimat pergi ke masjid untuk meruwat barang-barang keramat mereka.
Di bulan Mulud (atau
bulan Rabiul Awal dalam penanggalan Islam), masyarakat pun sering mengadakan
acara-acara Muludan untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW. Muludan
biasanya dilaksanakan di masjid, musholla,
atau langgar-langgar berupa pengajian atau tabligh
akbar.
Kepercayaan pada
hal-hal adikodrati pun masih tertanam di masyarakat. Misalnya, pada saat
menginjak bulan Mulud (dalam penanggalan Jawa), jika menemukan sesuatu atau
benda yang misalnya berupa uang atau apa saja di jalan, masyarakat dilarang
mengambilnya. Hal ini disebabkan oleh adanya kepercayaan yang menyatakan bahwa
di bulan Mulud biasanya banyak orang yang melakukan ritual pesugihan atau
ritual mistis lainnya. Oleh karena itu, masyarakat takut dan tidak berani
mengambil benda yang ditemukan karena benda itu dikhawatirkan merupakan benda
yang digunakan untuk ritual mistis tertentu. Dengan demikian, kepercayaan
kepada benda-benda keramat seperti keris atau batu-batuan (jimat) serta masih
adanya warga desa yang melakukan ritual seperti pesugihan (misalnya tuyul)
adalah bukti bahwa kepercayaan akan hal-hal gaib masih bereksistensi.
Kebudayaan dalam bidang
kesenian juga merupakan bagian di desa Cikareo Utara. Salah satu aspek yang
ditangani dan terus dilestarikan secara berkelanjutan adalah pembinaan berbagai
kelompok kesenian. Pemerintah terus membina kelompok dan organisasi kesenian
yang ada, walaupun dengan keterbatasan dana yang dialokasikan, namun semangat
para pewaris kebudayaan di desa Cikareo Utara terus berusaha menjaga, merawat,
serta memeliharanya agar budaya dan kelompok kesenian tersebut terus
terpelihara.
Beberapa kelompok
kesenian yang ada di desa Cikareo Utara yang masih eksis dan terawat walaupun
kondisinya sangat memprihatinkan di antaranya dapat dilihat dilihat pada tabel
di bawah ini:
Data Kelompok Budaya dan Kesenian di Desa Cikareo Utara Tahun
2011
No
|
JenisKelompokKesenian
yang ada
|
Jumlah Group
|
Status
|
1
|
Seni Calung
|
1
|
Aktif
|
2
|
Wayang Golek
|
-
|
Pasif
|
3
|
Singa Depok
|
1
|
Aktif
|
4
|
Reog
|
-
|
Aktif
|
5
|
Pencak silat
|
2
|
Aktif
|
6
|
Kliningan
|
-
|
Pasif
|
7
|
Beluk
|
-
|
Pasif
|
8
|
Upacara Adat/
degung
|
1
|
Aktif
|
9
|
Qasidah
|
1
|
Pasif
|
10
|
Kuda Lumping
|
1
|
Aktif
|
JUMLAH
|
7
|
|
Sumber
: Data Desa Cikareo
Utara
Selain itu, ada pula jenis-jenis kesenian yang lain
seperti Kuda Singa (yang terkenal dari dusun Gandoang) dan Jaipong Sekarwangi
(bukan Jaipong dangdut, yang terkenal dari dusun Awilega). Kesenian Kuda Singa
dari dusun Gandoang masih sering tampil di berbagai acara di Sumedang,
sedangkan Jaipong sudah 5 tahun terakhir ini tidak ada dan keadaannya sangat
mengkhawatirkan. Adapun kesenian Kuda Lumping pernah menorehkan prestasi, yakni
pernah menjadi juara I tingkat kabupaten di Festival Budaya yang pernah diadakan
pemerintah Kabupaten Sumedang.
Untuk kesenian modern atau semi-modern, di desa Cikareo
Utara pun ada organ tunggal. Organ tunggal ini bersifat musiman, artinya sering
diadakan dalam acara-acara tertentu saja seperti dalam acara hajatan, acara
resmi di desa, atau perpisahan KKN. Begitupun dengan berbagai kesenian yang
lainnya yang sangat jarang dan hanya bersifat musiman.
Disamping itu pula, masih banyak jenis kesenian
yang ada di Cikareo Utara yang dulu sempat ada seperti Jaipong dan
Kuda Renggong, namun sekarang menjadi tenggelam. Hal ini perlu dikembalikan pada beberapa tahun mendatang, sehingga anak cucu di desa Cikareo Utara akan teringat kembaliakan semua peninggalan budaya nenek moyangnya, yang mana kondisi akhir-akhir ini (anak generasi/kelahiran
70’an sampai dengan sekarang) sudah banyak kehilangan dan sudah tidak mengenal lagi budaya karuhunnya.
Selain dalam bidang kesenian, kebudayaan Cikareo Utara
juga tampak pada adanya beberapa situs makam keramat yang mengandung
kepercayaan, cerita, atau mitos tertentu. Di desa Cikareo Utara ada 3 situs
makam keramat, yakni:
1. Situs Makam Bakanjati
2. Situs Makam Gandoang
3. Situs Makam Awilega Peuntas
Situs makam Bakanjati (Babakan Jati) terletak
di dusun Nagrak, situs makam Gandoang terletak di dusun Gandoang, dan situs
makam Awilega Peuntas terletak di dusun Awilega.
Adapun makam Bakanjati dianggap sebagai makam
yang dikeramatkan karena konon katanya makam tersebut adalah makam leluhur desa
yang bernama Darma Jati. Menurut kepercayaan dan cerita yang beredar, Darma
Jati adalah orang pertama yang tinggal menetap di wilayah yang sekarang disebut
dengan Cikareo Utara dan dia konon berasal dari Cirebon. Istrinya bernama Nyi Mas
Lenggang Sari.
Begitu juga dengan makam Gandoang yang
dikeramatkan. Makam Gandoang merupakan makam Uyut Ihwan yang merupakan salah
seorang tokoh desa yang juga dihormati.
Kebudayaan yang ada di desa Cikareo Utara
merupakan modal dasar pembangunan yang melandasi pembangunan yang akan
dilaksanakan, warisan budaya yang bernilai luhur dan merupakan dasar dalam
rangka pengembangan pariwisata budaya yang dijiwai oleh mayoritas keluhuran
nilai agama Islam.
No comments:
Post a Comment